Negerti di Atas Awan: Ketimpangan di Dunia Pendidikan
Negeri di Atas Awan:
Ketimpangan di Dunia Pendidikan
Bonefasius Hardin (Guru SMAK Santo Fransiskus Assisi Samarinda)
Pendidikan di Indonesia
Apa yang terlintas di pikiran Anda
ketika membaca frasa judul yang tercetak di bagian paling atas selembar kertas
putih ini? Apakah pemandangan indah dari puncak gunung? Atau gumpalan awan
putih dengan angin sejuk bertiup yang Anda hirup hingga memenuhi rongga
paru-paru Anda? Sayang sekali, tulisan kali ini bukanlah berisi tentang
konotasi positif dari frasa ‘Negeri di Atas Awan’. Sebaliknya, tulisan ini akan
menceritakan kisah menarik lainnya tentang ‘Negeri di Atas Awan’.
Sebelum
menyelami lebih dalam mengenai konteks ‘Negeri di Atas Awan’ pada tulisan ini,
mari kita bahas mengenai pendidikan di Indonesia terlebih dahulu. Pendidikan
merupakan salah satu modal yang sangat penting untuk menjalani kehidupan
bermasyarakat, dengan adanya pendidikan kita bisa mengetahui berbagai macam
informasi. Indonesia, merupakan Negara dengan jumlah peserta didik yang
paling banyak menurut Badan Pusat Statistik. Namun, hal ini belum ditunjang dengan fasilitas yang
memadai secara
merata, sehingga menyebabkan perbedaan kualitas pendidikan tiap daerah.
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang terdahulu,
Bapak Muhadjir
Effendy,
mengakui Indonesia masih menghadapi ketimpangan dalam bidang pendidikan seperti
yang dikutip dalam Kuliah Umum di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. (Kompasiana.com). Banyak faktor yang
mempengaruhi ketimpangan sosial di bidang pendidikan seperti, kualitas
lingkungan sekolah yang meliputi masyarakat dan lingkungan sekitar yang
mendukung seorang anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Kesempatan
memperoleh pendidikan yang berkualitas terbatas karena banyak pengajar yang
kurang berkompeten, budaya masyarakat sekitar, bahkan akses menuju ke sekolah
merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap peserta didik. Kualitas lulusan
juga mempengaruhi kesempatan wilayah tersebut untuk menjadi berkembang dan
sejahtera. Kualitas pendidikan yang mencakup ketersediaan fasilitas pendidikan,
perbandingan antara banyak jumlah guru dan siswa, serta kualitas guru tersebut
pun harus dipertimbangkan lagi. Serta luas wilayah Indonesia dan terpisahnya jarak
antara pulau satu dan yang lainnya juga menyebabkan ketidakmerataan pendidikan
di Indonesia.
Upaya Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Direktur Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) Iwan Syahril,
dalam sebuah kesempatan acara “Tanya Jawab Pendidikan Indonesia dan
Guru Favorit – Pensi Online 2020” mengutarakan bahwa tantangan Bangsa Indonesia bukan hanya dalam segi peningkatan kualitas, tetapi bagaimana agar dapat
melakukan distribusi kualitas secara lebih merata. Menurutnya, pada saat ini memang
banyak terobosan yang telah dilakukan, tapi tentunya yang utama kuncinya adalah
kolaborasi dengan pemerintah setempat.
Dirjen GTK Kemendikbud mengadopsi teknologi dalam
menciptakan inovasi pembelajaran yang diharapkan akan bermuara pada pemerataan kualitas
pendidikan. Teknologi
diharapkan menjadi sarana pendobrak dalam mengakses konten-konten berbobot
secara lebih efektif dan efisien. Adopsi teknologi yang
luar biasa, membentuk sebuah pola belajar baru dan harapan meski susahnya akses
ke sebuah tempat tapi dapat disediakan konten-konten terbaik dan didukung oleh
guru-guru yang sudah dilatih dengan baik. Kemendikbud
pun sedang memperjuangkan semua sekolah di Indonesia bisa mendapatkan akses
internet dengan baik, ungkap Dirjen
GTK Kemendikbud,
Iwan Syahril.
Pandemi Covid-19 yang membuat seluruh
dunia kacau, menyebabkan sektor pendidikan dan sektor lainnya harus terhambat
dikarenakan pembatasan sosial yang ditetapkan oleh pemerintah. Hingga 16 Juni 2020,
UNESCO mencatat bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan hampir 1,1 miliar siswa yang
belajar di 123 negara tidak dapat bersekolah/kuliah seperti sebelumnya. Angka
ini merupakan 62,3% dari jumlah mereka yang belajar di seluruh penjuru dunia,
sebagai dampak penutupan institusi pendidikan (en. uniesco.org, 16 Juni 2020).
Dikutip dari Kompas.com, Ferdiansyah,
dewan Komisi X DPR RI, mengemukakan bahwa beberapa tantangan dalam penerapan
pembelajaran jarak jauh di Indonesia, antara lain; biaya paket internet,
ketersediaan perangkat belajar dan konektivitas internet dan listrik untuk
daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Beliau juga mengungkapkan data
sebanyak 68 juta siswa mengikuti proses pembelajaran dari rumah dan baru 28
juta lebih yang dapat melakukan pembelajaran jarak jauh (online learning).
Surat Edaran Mendikbud No. 4 Tahun
2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran
Coronavirus Disease (Covid-19) yang diperkuat dengan Surat Edaran Sekretaris
Jenderal No. 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah
(BDR) dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 masih berlaku pada saat tahun
ajaran baru dimulai. Tenaga
pendidik
memberikan materi PJJ dengan memperhatikan pedoman BDR, yang bertujuan untuk
memastikan pemenuhan hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan selama
darurat Covid-19.
Berdasarkan hasil evaluasi
Kemendikbud mengenai kegiatan PJJ, hanya 51% kegiatan PJJ yang berjalan
efektif. Masih ada permasalahan karena sejumlah siswa tidak memiliki akses
teknologi, keterbatasan alat komunikasi/gawai, jaringan internet, dan
aplikasi/media pembelajaran. Untuk internet, permasalahan terjadi karena akses
jaringan internet yang tersedia tidak merata, antara daerah maju di perkotaan
dan daerah pinggiran.
Dikutip
dari Media Indonesia (8/6), sudah adanya upaya penyesuaian
terhadap kondisi, situasi, fasilitas, dan kapabilitas satuan pendidikan atau
sekolah masing-masing. Bahkan di kota besar pun, ada sekolah yang mampu karena
cukup fasilitasnya. Sementera di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal),
ada sekolah yang tidak pernah terhubung dengan listrik, apalagi internet.
Seperti contoh di Provinsi Papua, dari 608.000 siswa, yang tidak terlayani
pembelajaran online mencapai 54%.
Walaupun sekolah sudah berupaya untuk
menyiasati kondisi yang ada, pemerataan digital, baik secara geografis maupun
sosial, akan membantu pemerataan akses pendidikan di masa depan. Sejalan dengan
itu, yang tak kalah penting
untuk disorot ialah peningkatan literasi digital. Semua pihak perlu
diajak untuk mengenali, memproduksi, dan menyebarkan konten yang mendidik,
bukan konten negatif yang menyebarkan kebodohan, perpecahan, dan mengganggu
mental siswa.
Negeri di Atas Awan: Ketimpangan Sarana Pendidikan Ada
di Depan Mata
Kembali pada topik awal tulisan ini,
‘Negeri di Atas Awan’, menceritakan kisah seorang siswi SMAK Santo Fransiskus
Assisi Samarinda, dalam menempuh pendidikan jarak jauh di Kecamatan Tabang,
Kutai Kartanegara. Kondisi pembelajaran
dari rumah membuat kebanyakan orang tua yang tidak berdomisili di Samarinda memutuskan agar anaknya
belajar secara daring di kota asalnya. Keinginannya untuk memperoleh
pembelajaran dengan kondisi yang baik sirna ketika ia harus mengikuti orang
tuanya tinggal dan bekerja di salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di
Tabang.
Berjarak kurang lebih delapan jam
dari titik saat saya membaca tulisan ini, tepatnya di Kutai Kartanegara, di
sana terdapat sebuah kecamatan terluas yang berada di Pedalaman Kabupaten Kutai
Kartanegara, Tabang namanya. Luas wilayahnya mencapai 7.764,50 KM² dan hanya
dapat ditempuh dari Samarinda melalui jalur darat. Di kecamatan ini, seorang
siswi bernama Warniate Ema menunaikan kewajibannya untuk menempuh
pendidikannya.
Tak seberuntung anak-anak lainnya,
Warni harus bangun lebih cepat, dan memulai perjalanannya menuju puncak gunung
yang bisa ditempuhnya dalam waktu tidak singkat. Akibat minimnya fasilitas di
sana, ia tidak bisa memperoleh sinyal yang baik untuk sekedar membalas pesan Whatsapp.
Mau tak mau, puncak gunung pun harus diraih.
Sesampainya di puncak tinggi yang
terjangkau sinyal internet, Warni mempersiapkan diri untuk menerima ilmu dari
bapak dan ibu guru. Lalu, di mana tempat Warni berteduh sambil bersekolah? Ini
pula yang menjadi pertanyaan saya kala itu.
Suatu hari, saya berkomunikasi
dengannya melalui Whatsapp. Menanyakan keadaan dan kondisinya di sana
dalam memperoleh pembelajaran sebab sering kali saya mendapat laporan
ketidakhadirannya. Dia menjelaskan keadaannya di sana. Dari sanalah saya
memperoleh informasi tentang keberadaannya.
“Mohon maaf, pak, di tempat saya
terkendala jaringan. Saya perlu naik ke puncak gunung untuk memperoleh sinyal. Di
sana ada sinyal walaupun tidak terlalu kuat. Saya belajar di sebuah pondok
milik perusahaan tempat ayah bekerja. Di sini saya belajar bersama teman-teman yang
juga mencari sinyal. Di sini tidak ada kursi, hanya ada meja, sehingga saya
harus berdiri, pak. Dan kalau hujan, saya sulit untuk ke tempat ini, pak.”
Kurang lebih begitulah Warni mendeskripsikan
kondisinya saat ini. Saya cukup terkejut. Tapi begitulah kenyataannya. Tidak
semua siswa-siswi dilengkapi dengan fasilitas mumpuni untuk mendengar saya dan
guru lainnya berbagi ilmu yang kami punya. Kenyataannya, masih begitu banyak
siswa-siswi yang harus berusaha dan memaksakan keadaan untuk memperoleh ilmu.
Kisah Warni membuka pemikiran saya untuk berbagi tulisan ini dengan Anda semua. Tentang ‘Negeri di Atas Awan’ yang jauh dari ekspektasi orang-orang. ‘Negeri di Atas Awan’ yang harus ditempuh dengan niat dan usaha Warni untuk mendengar ilmu dari bapak dan ibu guru, di sebuah pondok kayu tanpa adanya tempat untuk duduk. Mendengarkan ilmu yang dibagikan, sembari menikmati pemandangan hamparan pepohonan, sendirian. Berusaha memahami apa yang dijelaskan bapak dan ibu guru, bahkan ketika dia harus menghirup petrikor yang menenangkan.
Solusi bagi Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Seperti
yang sudah dibahas di atas, permasalahan pendidikan di Indonesia bukan hanya
mengenai ketimpangan ketersediaan fasilitas penunjang. Permasalahan ini
meliputi kurikulum pendidikan, ketersediaan jumlah pendidik dibandingkan jumlah
peserta didik, hingga permasalahan kualitas tenaga pendidik. Lalu, apa solusi
dari berbagai permasalahan di atas?
Dengan
kemajuan yang sudah kita rasakan, serta jumlah rasio remaja yang melek
teknologi tersebar di pelosok negeri sudah cukup banyak, kita perlu melakukan
transformasi sistem pendidikan. Salah satunya pemerataan pendidikan dengan menjadikan pendidikan jarak jauh (PJJ)
sebagai model pembelajaran permanen untuk diterapkan ke pelosok negeri.
Belajar
dari India, meski merupakan negara berpendapatan sedang-rendah (middle-low
income) berdasarkan data yang dirilis oleh World Bank pada Juni
2020, akan tetapi secara kualitas pendidikan jauh di atas Indonesia. Hal ini
terbukti berdasarkan ranking universitas dunia menurut Webometrics.
India telah menerapkan model pembelajaran distance learning yang
mampu dijangkau pelosok negeri bahkan dunia. Dengan metode ini, maka biaya
operasional pendidikan mampu ditekan sangat minim. Sehingga tidak heran di sana
biaya pendidikan sangat murah tetapi berkualitas.
Menurut saya, dengan menerapkan sistem metode PJJ ini, mampu menjangkau
pendidikan hingga ke pelosok negeri. Pemerintah tidak perlu membangun gedung tinggi dan mewah
untuk pendidikan. Tidak perlu pusing untuk
memikirkan tenaga pendidik yang harus mengajar di daerah terpencil. Cukup jaringan internet yang
dikembangkan serta tenaga pendidik yang dibekali pengetahuan
berteknologi. Maka pendidikan
menjadi sangat ramah untuk masyarakat kita. Dengan demikian seluruh warga
masyarakat mendapatkan hak untuk menikmati pendidikan mesti tidak semaksimal
tatap muka langsung.
Selanjutnya,
permasalahan yang tersisa adalah bagaimana menyediakan fasilitas yang mumpuni
untuk dimanfaatkan dalam pendidikan jarak jauh. Pemerintah dan swasta harus memberikan
perhatian yang lebih dalam pembangunan infrastruktur pendidikan, terutama di
daerah dengan fasilitas yang terbatas. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, bersamaan dengan investasi pihak swasta seharusnya mampu
menciptakan lingkungan pendidikan yang baik di Indonesia. Sehingga ke depannya,
pendidikan jarak jauh dapat dilaksanakan dengan lebih baik lagi. Semoga segala
upaya dan usaha baik bagi Bangsa Indonesia direstui oleh Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Putra,
Achmad Syandhika. 2019. Ketimpangan
Pendidikan Indonesia. Diakses melalui https://www.kompasiana.com/syandhika/5dc811df097f365326771252/ketimpangan-pendidikan-indonesia
pada 21 Mei 2021.
Secretariat
GTK. 2020. Upaya Mengakselerasi Pemerataan Pendidikan di Indonesia. Diakses
melalui
https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/upaya-mengakselerasi-pemerataan-pendidikan-di-indonesia
pada 21 Mei 2021.
Harususilo,
Yohanes Enggar. 2020. Seminar
UMJ: Pembelajaran Jarak Jauh Belum Jadi Budaya Proses Belajar di Indonesia
(kompas.com). Diakses melalui
https://www.kompas.com/edu/read/2020/05/18/212505271/seminar-umj-pembelajaran-jarak-jauh-belum-jadi-budaya-proses-belajar-di
pada 21 Mei 2021.
“Keselamatan Siswa Menjadi Prioritas”. Gatra No. 33 Tahun XXVI, 11–17
Juni 2020, hal. 46– 49.
“Opsi Terbaik Tetap Belajar Jarak Jauh”, Media
Indonesia, 12 Juni 2020, hal. 2.
Losando, Richard. 2020. Pendidikan Jarak Jauh
Sebagai Solusi Atasi Ketimpangan. Diakses melalui https://mediaindonesia.com/opini/347564/pendidikan-jarak-jauh-sebagai-solusi-atasi-ketimpangan pada 21 Mei 2021.
Yulia, Indahri. 2020. PERMASALAHAN
PEMBELAJARAN JARAK JAUH DI ERA PANDEMI. Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Vol. XII: No. 12. Diakses melalui http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XII-12-II-P3DI-Juni-2020-201.pdf
pada 21 Mei 2021.
Mantap bos ku..
BalasHapusBagus sekali pak👍🏻
BalasHapusMantap Pak Bonee, teruskann!!!
BalasHapusDitunghu
Mantap pak bone, ditunggu blog² selanjutnya!!
BalasHapus